Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang
masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di
sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dieng terbagi dalam
dua wilayah yaitu Desa Dieng Kulon,
Kecamatan Batur,
Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar,
Kabupaten Wonosobo.
Asal nama Dieng sendiri adalah gabungan
dari dua kata bahasa Sunda Kuno yaitu Di (tempat) dan Hyang (dewa), dari nama
tersebut dapat kita simpulkan bahwa Dieng merupakan tempat persemayaman para
dewa. Namun walaupun demikian, kultur
Islam sangat kental di wilayah ini. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya
bangunan masjid dan mushola sehingga selain mendapat julukan "Negeri diatas awan", "Bumi Kahyangan",
dan "Kecantikan ajaib di Pulau Jawa". Dataran Tinggi Dieng juga
mendapatkan julukan, "Negeri Seribu Masjid".
Wilayah Dieng dengan ketinggian rata-rata adalah
sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu berkisar 15-20 °C di siang
hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau
(Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan
memunculkan embun beku. Kondisi
tersebut mempengaruhi mata pencaharian penduduk disana yaitu mayoritas sebagai
petani dengan kentang sebagai
komoditi utama. Selain itu, wortel,
kubis, dan berbagai bawang-bawangan
dihasilkan dari kawasan ini. Disamping sayuran, Dieng juga merupakan sentra
penghasil pepaya gunung
(carica) dan jamur.
Kekayaan alam lainnya yang ada di wilayah ini adalah
banyaknya objek wisata alam berupa kawah dan telaga; dan wisata sejarah berupa
candi. Setiap objek wisata mempunyai ceritanya tersendiri mengenai asal muasal
tempat tersebut, namun cerita – cerita tersebut terkadang susah untuk diterima
logika. Cerita itulah yang disebut dengan mitos. Mitos adalah cerita tentang
asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara
gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos juga mengisahkan
petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka dan
sebagainya. Mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa
sebagaimana yang tercantum antara lain babad tanah Jawi,
di dalamnya terdapat struktur berpikir orang Jawa.
Struktur
pemikiran ini mencerminkan upaya kognitif orang Jawa
untuk menselaraskan dan menggabungkan berbagai elemen budaya pra-Islam,
budaya Jawa dengan elemen budaya islam dlam suatu kerangka
simbolis yang dapat mereka gunakan untuk menafsirkan, memahami dan memanfaatkan
berbagai prinsip ajaran, prilaku dan lingkungan yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari (Levistrauss). Mitos di percaya oleh masyarakat sebab
masyarakat beranggapan mitos sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat,
khususnya masyarakat tradisional yang masih sangat kental budaya kedaerahannya.
Mereka kebanyakan mengabaikan logika dan lebih mempercayai hal-hal yang sudah
turun temurun dari nenek moyang. Pada dasarnya, mitos orang zaman dahulu
memiliki tujuan yang baik untuk kelangsungan hidup keturunannya.
Keberadaan kawah di dataran tinggi dieng, merupakan
fenomena alam yang langka dan menakjubkan sekaligus berbahaya. fenomena ini
menjadi daya tarik tersendiri baik di kalangan wisatawan dan menjadi tantangan
bagi peneliti.
Dataran Tinggi Dieng termasuk salah satu kawasan
yang memiliki daftar kawah terbanyak di Indonesia, Sebagian besar erupsi di
Dataran Tinggi Dieng adalah erupsi freatik karena dieng merupakan kawasan
gunung api aktif bertipe A. Salah satu kawah yang terkenal adalah Kawah
Sikidang. Kawah Sikidang merupakan kawah yang terpopuler dan terbesar di Dieng,
disamping letaknya yang mudah dijangkau fasilitas yang ada cukup lengkap,
Seperti Mushola, WC, Area Parkir dan Pusat Perbelanjaan. Nama Kawah Sikidang
diambil dari kidang dalam bahasa Indonesia = Kijang. Binatang ini memiliki
karakteristik suka melompat lompat, Seperti halnya Uap air dan lava berwarna
kelabu yang terdapat di kawah sikidang selalu bergolak dan munculnya
berpindah-pindah bahkan melompat seperti seekor kidang / kijang.
Namun ada cerita lain mengenai asal muasal tempat
ini yang diyakini oleh masyarakat sekitar, yaitu cerita mengenai Kisah Cinta
Ratu Sinta Dewi.
Pada zaman dahulu ada sebuah istana yang besar di
Dataran Tinggi Dieng, di huni oleh seorang ratu yang cantik jelita, yaitu Ratu
Sinta Dewi. Pada suatu ketika Ratu Sinta Dewi akan dilamar seorang pangeran
yang konon tampan dan kaya raya, yaitu Pangeran Kidang Garungan. Namun, Ratu
Shinta Dewi kecewa karena pangeran tersebut tidak setampan seperti yang
diceritakan. Pangeran Kidang Garungan adalah sosok manusia berkepala kijang.
Cara untuk menolak lamaran Pangeran Kidang Garungan, Ratu Shinta Dewi mengajukan
syarat untuk dibuatkan sumur yang besar dan dalam. Ketika sumur hampir selesai
dibuat, Ratu Shinta Dewi dan para pengawalnya menimbun sumur tersebut dengan
tanah saat Pangeran Kidang Garungan masih berada di dalamnya.
Ketika sang pangeran berusaha untuk keluar dari
sumur itu dengan cara mengerahkan segala kesaktiannya, sumur itu tiba-tiba
menjadi panas, bergetar, dan meledak-ledak. Pangeran itu hampir saja keluar
dari sumur, namun ratu dan para pengikutnya terus menimbun sang pangeran hingga
tidak dapat keluar. Sang pangeran kemudian marah, lalu mengutuk Ratu Shinta
Dewi dan keturunannya kelak akan berambut gembel. Bekas sumur Pangeran Kidang
Garungan itulah yang kemudian menjelma menjadi Kawah Sikidang.
Mitos
tersebut berhubungan dengan mitos anak gembel, anak gembel yang diceritakan
merupakan keturunan ratu Sinta Dewi yang dikutuk oleh Pangeran Kidang Garungan.
Istilah gembel (mengikuti istilah warga sekitar) adalah rambutnya yang
menggumpal. Tumbuhnya rambut ini disebabkan oleh factor genetis(keturunan),
rambut gembel ini tumbuh pada siapa saja tanpa memandang kelas social, ekonomi
dan pendidikan keluarga. Menurut Herawati (2001:45) tumbuh gembel diawali
dengan gejala sakit panas selama beberapa hari, orangtua kemudian akan
memeriksakan anaknya ke Puskesmas terdekat dan menggunakan cara tradisional
yaitu mengompres ubun-ubun dengan parutan bawang merah. Namun sakit panas yang
diderita akan reda sesaat dan kemudian berlanjut lagi sampai 2-3 minggu.
Setelah panas berkepanjangan itu maka tumbuh rambut yang menggumpal atau
disebut gimbal.
Anak yang
mempunyai rambut gimbal ini diperlakukan secara istimewa oleh orang tuanya
karena dipercaya merupakan titisan dewa yang harus harus dijaga dan dituruti
segala keinginannya. Segala permintaanya sebisa mungkin dituruti oleh
orangtuanya karena diyakini permintaan tersebut tidak semata mata muncul dari
sang anak namun dari sang leluhur dan keyakinan lainnya adalah jika anak yang
berambut gimbal diperlakukan secara istimewa maka akan mendatangkan rejeki bagi
orang tuanya. Hal ini mempengaruhi psikologis sang anak, karena anak cenderung
menjadi manja dan malas. Anak ini akan tumbuh seperti anak-anak normal sampai
suatu saat ia meminta untuk diruwat. Keinginan ini menurut sang pemangku adat
yaitu Bapak Naryono muncul dari sang anak sendiri. Bapak Naryono inilah yang
akan melaksanakan ruwatan anak gembel. Tata cara ruwatan rambut gimbal dapat
dilihat dalam Dieng Kultural Festival yang diadakan setiap akhir Juli setiap
tahunnya.
Foto saat mewawancarai Bapak Naryono (pemangku adat)
Sebelum upacara pemotongan rambut, akan dilakukan
ritual doa di beberapa tempat agar upacara dapat berjalan lancar. Tempat-tempat
tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi
Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, komplek Pertapaan
Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng.
Malam harinya akan dilanjutkan upacara Jamasan Pusaka, yaitu pencucian pusaka
yang dibawa saat kirab anak-anak rambut gembel untuk dicukur.
Keesokan harinya baru dilakukan kirab menuju tempat
pencukuran. Perjalanan dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat dan berhenti di
dekat Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu. Selama berkeliling desa anak-anak
rambut gimbal ini dikawal para sesepuh, para tokoh masyarakat,
kelompok-kelompok paguyuban seni tradisional, serta masyarakat.
Setelah kirab kemudian dilakukan pemandian anak
gembel di sumur Sendang Sedayu atau Sendang Maerokoco yang berlokasi di utara
Darmasala komplek Candi Arjuna. Saat memasuki sumur Sendang Sedayu tersebut
anak-anak gembel dilindungi payung Robyong dan kain panjang di sekitar Sendang
Maerokoco. Setelah selesai, anak-anak gembel tersebut dikawal menuju tempat
pencukuran. Saat upacara pencukuran akan dipersembahkan sesajian berupa kepala
ayam, tempe gembus, kambing etawa, marmut, dan sesajian lainnya yang berasal
dari hasil bumi sekitaran Dataran Tinggi Dieng.
Sebelum pencukuran, kesenian tradisional akan
menghibur anak-anak gembel dan masyarakat. Saat tiba waktunya pemotongan rambut
maka satu -persatu anak gembel dipanggil. Di antara mereka ada yang merasa
ketakutan dan ada juga yang ceria dalam suasana ramainya pengunjung. Orang tua
si anak gembel percaya bahwa ritual ini dapat membebaskan anak mereka dari
segala penyakit dan mendatangkan rezeki. Proses pemotongan rambut anak gembel
akan berlangsung sekitar 30 menit bertempat di depan Candi Arjuna. Pencukuran
rambut gimbal ini dilakukan tokoh masyarakat didampingi pemandu dan pemangku
adat.
Berikutnya upacara akan dilakukan menyerahkan benda
atau hal yang diminta si anak gembel sebelumnya. Para abdi upacara selanjutnya
akan menghanyutkan potongan rambut gembel ke Telaga Warna yang mengalir ke
Sungai Serayu dan berhilir ke Pantai Selatan di Samudera Hindia. Pelarungan
potongan rambut gimbal ke sungai menyimbolkan pengembalian bala
(kesialan) yang dibawa si anak kepada para dewa. Ada kepercayaan bahwa
anak-anak gembel ini ditunggui jin dan pemotongan rambut tersebut akan mengusir
jin keluar dari tubuhnya sehingga segala bala akan hilang dan rezeki
pun datang.
Fenomena anak gembel ini juga mempunyai versi lain dalam
perkembangannya. Anak gembel dikaitkan dengan mitos Kyai Kolodete. Sosok ini
dalam benak masyarakat Dataran Tinggi Dieng cukup lekat. Konon kyai yang muksa
(lepas nyawa dari raga ) di Gunung Bima ini, merupakan sosok yang jadi cikal
bakal meneteskan keturunan anak berambut gembel (gimbal) hingga hari ini.
Kehadiran Kyai Kolodete di Dataran Tinggi Dieng selama ini diyakini menjadi
tokoh yang terlibat dalam membabat kawasan Dieng. Kolodete dimitoskan menjadi
sosok yang misterius sekaligus fakta. Dikatakan misterius karena berada di
Dieng pada ratusan tahun silam dengan penanda kepergiannya melalui petilasan
muksa di Puncak Gunung Bima. Dianggap fakta karena hingga hari ini, titisan
kolodete masih terus ada, wujudnya anak di kawasan Dieng berambut gimbal yang
harus diperlakukan secara khusus, apabila tidak, bisa berdampak jadi bala.
Sosok Kolodete dan titisannya yang masih terus terlahir tersebut
pada digambarkan secara eksotis melalui gerakan tari bertajuk titisan kolodete
di helat di Pelataran Candi Arjuna dalam rangkaian acara Dieng Kultural
festival. Para penari melalui segmen demi segmen membawakan rangkaian kisah,
dari sosok kyai kolodete hingga melahirkan titisannya ditandai dengan banyaknya
anak berambut gimbal di kawasan Dieng yang hingga kini masih terus terlahir. Sendratari
ini, mengisahkan tiga tokoh pendiri Wonosobo yang salah satu diantaranya telah
berurat berakar dalam tradisi kehidupan masyarakat Dieng yaitu kyai kolodete.
Sosok Kolodete dikenal berambut gembel sejak kecil dan dipercayai sebagai
leluhur peletak dasar tradisi ruwat rambut gembel.
Orang Jawa,
khususnya yang tinggal di pedesaan, percaya terhadap dunia selain dunia nyata
ini. Menurut kepercayaan mereka, dunia ini dihuni oleh berbagai macam makhluk
halus dan kekuasaan-kekuasaan gaib. Pandangan hidup mereka, kejadian-kejadian
di dunia nyata ini berkaitan dengan alam gaib (adikodrati) tersebut. Pengejawantahan
dari pandangan tersebut memunculkan mitos-mitos mengenai dunia nyata dan dunia
adikodrati. Yang pada akhirnya semakin menguatkan kepercayaan bahwa terdapat
dua dunia dalam kehidupan ini, yaitu dunia empirik dan metaempirik.
Mitos-mitos, seperti halnya mitos anak gembel di dataran tinggi Dieng,
menjelaskan bagaimana hubungan antara dua alam tersebut. Dan ritus-ritus yang
berkaitan dengan mitos tersebut menjadi jembatan yang menghubungi dua dunia
tersebut.
Jika kita berfikir menggunakan logika atau akal sehat
sepertinya kejadian dalam mitos jauh dari nalar bahkan tidak mungkin.
Pertimbanganya antara sebab akibat dan pertimbangan kenalaran. Pada intinya
mitos dalam masyarakat Indonesia menjadi bumbu budaya pasalnya setiap daerah
memiliki ciri dan keunikan tersendiri. Antara mitos dan logika diibaratkan
seperti minyak dengan air keduanya tak dapat disatukan / berdiri sendiri. Yang
terpenting adalah perbedaan sudut pandang suatu pemikiran menjadi kekayaan dan
kebebasan setiap insan.
Secara
alamiah logika tak dapat menembus mitos dan mitos bukan bagaian dari logika,
tapi anehnya keduanya berjalan beriringan, seperti contoh : "Mitos yang
terjadi di dataran tinggi Dieng, Wonosobo menjadi daya tarik wisatawan".
Jika dicermati / dianalisis dengan logika, memang benar Dieng menjadi menarik
karena ada mitos, karenanya banyak wisatawan yang berkunjung, tapi tak semua
wisatawan percaya dengan mitos yang terjadi.
Terlepas dari dua versi
mitos mengenai asal muasal rambut gembel yang muncul di masayarakat. Mitos ini
telah menjadi landasan berpikir dan pola tingkah laku orang Jawa. Mitos ini
tumbuh subur di kalangan masyarakat dan terus terpelihara hingga sekarang. Kita
sebagai orang awam tidak dapat membenarkan mitos mana diantara kedua mitos
tersebut yang benar-benar ada dan terjadi pada masa dahulu. Namun lewat mitos
–mitos ini kita dapat belajar dan mengambil hikmahnya. Disamping itu
mitos-mitos ini menjadi inspirasi para seniman untuk menciptakan suatu karya
seni, contohnya melalui tarian asli daerah yang
bisa mewakili sejarah. Tarian ini diharapkan bisa memberikan materi pengetahuan
tentang seni tari dan gending untuk ditularkan ke masyarakat seni budaya lain
dan untuk mendapatkan arti seni budaya lokal yang sebenarnya.
Daftar Pustaka :
-
Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos
dan Karya Sastra, Yogyakarta : Kepel press
-
Herawati E.N.2001.Topeng Lengger dalam upacara ruwatan rambut gembel di Wonosobo,Jateng.
Tesis tidak diterbitkan.Yogyakarta : Program studi Pengkajian Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Humaniora UGM
-
Larasati Ani.2012. Patrawidya : Pola pengasuhan anak anak berambut
Gembel. Yogyakarta Balai penelitian sejarah dan budaya