Selasa, 16 Oktober 2012

Dieng, negeri para dewa yang berselimutkan mitos


Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dieng terbagi dalam dua wilayah yaitu Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Asal nama  Dieng sendiri adalah gabungan dari dua kata bahasa Sunda Kuno yaitu Di (tempat) dan Hyang (dewa), dari nama tersebut dapat kita simpulkan bahwa Dieng merupakan tempat persemayaman para dewa.  Namun walaupun demikian, kultur Islam sangat kental di wilayah ini. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya bangunan masjid dan mushola sehingga selain mendapat julukan "Negeri diatas awan", "Bumi Kahyangan", dan "Kecantikan ajaib di Pulau Jawa". Dataran Tinggi Dieng juga mendapatkan julukan, "Negeri Seribu Masjid".

Wilayah Dieng dengan ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu berkisar 15-20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku. Kondisi tersebut mempengaruhi mata pencaharian penduduk disana yaitu mayoritas sebagai petani dengan kentang sebagai komoditi utama. Selain itu, wortel, kubis, dan berbagai bawang-bawangan dihasilkan dari kawasan ini. Disamping sayuran, Dieng juga merupakan sentra penghasil pepaya gunung (carica) dan jamur.
Kekayaan alam lainnya yang ada di wilayah ini adalah banyaknya objek wisata alam berupa kawah dan telaga; dan wisata sejarah berupa candi. Setiap objek wisata mempunyai ceritanya tersendiri mengenai asal muasal tempat tersebut, namun cerita – cerita tersebut terkadang susah untuk diterima logika. Cerita itulah yang disebut dengan mitos. Mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos juga mengisahkan  petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka dan sebagainya. Mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa sebagaimana yang tercantum antara lain babad tanah Jawi, di dalamnya terdapat struktur berpikir orang Jawa. Struktur pemikiran ini mencerminkan upaya kognitif orang Jawa untuk menselaraskan dan menggabungkan berbagai elemen budaya pra-Islam, budaya Jawa dengan elemen budaya islam dlam suatu kerangka simbolis yang dapat mereka gunakan untuk menafsirkan, memahami dan memanfaatkan  berbagai prinsip ajaran, prilaku dan lingkungan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (Levistrauss). Mitos di percaya oleh masyarakat s­ebab masyarakat beranggapan mitos sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional yang masih sangat kental budaya kedaerahannya. Mereka kebanyakan mengabaikan logika dan lebih mempercayai hal-hal yang sudah turun temurun dari nenek moyang. Pada dasarnya, mitos orang zaman dahulu memiliki tujuan yang baik untuk kelangsungan hidup keturunannya.

Keberadaan kawah di dataran tinggi dieng, merupakan fenomena alam yang langka dan menakjubkan sekaligus berbahaya. fenomena ini menjadi daya tarik tersendiri baik di kalangan wisatawan dan menjadi tantangan bagi peneliti. Dataran Tinggi Dieng termasuk salah satu kawasan yang memiliki daftar kawah terbanyak di Indonesia, Sebagian besar erupsi di Dataran Tinggi Dieng adalah erupsi freatik karena dieng merupakan kawasan gunung api aktif bertipe A. Salah satu kawah yang terkenal adalah Kawah Sikidang. Kawah Sikidang merupakan kawah yang terpopuler dan terbesar di Dieng, disamping letaknya yang mudah dijangkau fasilitas yang ada cukup lengkap, Seperti Mushola, WC, Area Parkir dan Pusat Perbelanjaan. Nama Kawah Sikidang diambil dari kidang dalam bahasa Indonesia = Kijang. Binatang ini memiliki karakteristik suka melompat lompat, Seperti halnya Uap air dan lava berwarna kelabu yang terdapat di kawah sikidang selalu bergolak dan munculnya berpindah-pindah bahkan melompat seperti seekor kidang / kijang.
Namun ada cerita lain mengenai asal muasal tempat ini yang diyakini oleh masyarakat sekitar, yaitu cerita mengenai Kisah Cinta Ratu Sinta Dewi.
Pada zaman dahulu ada sebuah istana yang besar di Dataran Tinggi Dieng, di huni oleh seorang ratu yang cantik jelita, yaitu Ratu Sinta Dewi. Pada suatu ketika Ratu Sinta Dewi akan dilamar seorang pangeran yang konon tampan dan kaya raya, yaitu Pangeran Kidang Garungan. Namun, Ratu Shinta Dewi kecewa karena pangeran tersebut tidak setampan seperti yang diceritakan. Pangeran Kidang Garungan adalah sosok manusia berkepala kijang. Cara untuk menolak lamaran Pangeran Kidang Garungan, Ratu Shinta Dewi mengajukan syarat untuk dibuatkan sumur yang besar dan dalam. Ketika sumur hampir selesai dibuat, Ratu Shinta Dewi dan para pengawalnya menimbun sumur tersebut dengan tanah saat Pangeran Kidang Garungan masih berada di dalamnya.
Ketika sang pangeran berusaha untuk keluar dari sumur itu dengan cara mengerahkan segala kesaktiannya, sumur itu tiba-tiba menjadi panas, bergetar, dan meledak-ledak. Pangeran itu hampir saja keluar dari sumur, namun ratu dan para pengikutnya terus menimbun sang pangeran hingga tidak dapat keluar. Sang pangeran kemudian marah, lalu mengutuk Ratu Shinta Dewi dan keturunannya kelak akan berambut gembel. Bekas sumur Pangeran Kidang Garungan itulah yang kemudian menjelma menjadi Kawah Sikidang.
Mitos tersebut berhubungan dengan mitos anak gembel, anak gembel yang diceritakan merupakan keturunan ratu Sinta Dewi yang dikutuk oleh Pangeran Kidang Garungan. Istilah gembel (mengikuti istilah warga sekitar) adalah rambutnya yang menggumpal. Tumbuhnya rambut ini disebabkan oleh factor genetis(keturunan), rambut gembel ini tumbuh pada siapa saja tanpa memandang kelas social, ekonomi dan pendidikan keluarga. Menurut Herawati (2001:45) tumbuh gembel diawali dengan gejala sakit panas selama beberapa hari, orangtua kemudian akan memeriksakan anaknya ke Puskesmas terdekat dan menggunakan cara tradisional yaitu mengompres ubun-ubun dengan parutan bawang merah. Namun sakit panas yang diderita akan reda sesaat dan kemudian berlanjut lagi sampai 2-3 minggu. Setelah panas berkepanjangan itu maka tumbuh rambut yang menggumpal atau disebut gimbal.
Anak yang mempunyai rambut gimbal ini diperlakukan secara istimewa oleh orang tuanya karena dipercaya merupakan titisan dewa yang harus harus dijaga dan dituruti segala keinginannya. Segala permintaanya sebisa mungkin dituruti oleh orangtuanya karena diyakini permintaan tersebut tidak semata mata muncul dari sang anak namun dari sang leluhur dan keyakinan lainnya adalah jika anak yang berambut gimbal diperlakukan secara istimewa maka akan mendatangkan rejeki bagi orang tuanya. Hal ini mempengaruhi psikologis sang anak, karena anak cenderung menjadi manja dan malas. Anak ini akan tumbuh seperti anak-anak normal sampai suatu saat ia meminta untuk diruwat. Keinginan ini menurut sang pemangku adat yaitu Bapak Naryono muncul dari sang anak sendiri. Bapak Naryono inilah yang akan melaksanakan ruwatan anak gembel. Tata cara ruwatan rambut gimbal dapat dilihat dalam Dieng Kultural Festival yang diadakan setiap akhir Juli setiap tahunnya.
Foto saat mewawancarai Bapak Naryono (pemangku adat)

Sebelum upacara pemotongan rambut, akan dilakukan ritual doa di beberapa tempat agar upacara dapat berjalan lancar. Tempat-tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, komplek Pertapaan Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng. Malam harinya akan dilanjutkan upacara Jamasan Pusaka, yaitu pencucian pusaka yang dibawa saat kirab anak-anak rambut gembel untuk dicukur.
Keesokan harinya baru dilakukan kirab menuju tempat pencukuran. Perjalanan dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat dan berhenti di dekat Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu. Selama berkeliling desa anak-anak rambut gimbal ini dikawal para sesepuh, para tokoh masyarakat, kelompok-kelompok paguyuban seni tradisional, serta masyarakat.
Setelah kirab kemudian dilakukan pemandian anak gembel di sumur Sendang Sedayu atau Sendang Maerokoco yang berlokasi di utara Darmasala komplek Candi Arjuna. Saat memasuki sumur Sendang Sedayu tersebut anak-anak gembel dilindungi payung Robyong dan kain panjang di sekitar Sendang Maerokoco. Setelah selesai, anak-anak gembel tersebut dikawal menuju tempat pencukuran. Saat upacara pencukuran akan dipersembahkan sesajian berupa kepala ayam, tempe gembus, kambing etawa, marmut, dan sesajian lainnya yang berasal dari hasil bumi sekitaran Dataran Tinggi Dieng.
Sebelum pencukuran, kesenian tradisional akan menghibur anak-anak gembel dan masyarakat. Saat tiba waktunya pemotongan rambut maka satu -persatu anak gembel dipanggil. Di antara mereka ada yang merasa ketakutan dan ada juga yang ceria dalam suasana ramainya pengunjung. Orang tua si anak gembel percaya bahwa ritual ini dapat membebaskan anak mereka dari segala penyakit dan mendatangkan rezeki. Proses pemotongan rambut anak gembel akan berlangsung sekitar 30 menit bertempat di depan Candi Arjuna. Pencukuran rambut gimbal ini dilakukan tokoh masyarakat didampingi pemandu dan pemangku adat.
Berikutnya upacara akan dilakukan menyerahkan benda atau hal yang diminta si anak gembel sebelumnya. Para abdi upacara selanjutnya akan menghanyutkan potongan rambut gembel ke Telaga Warna yang mengalir ke Sungai Serayu dan berhilir ke Pantai Selatan di Samudera Hindia. Pelarungan potongan rambut gimbal ke sungai menyimbolkan pengembalian bala (kesialan) yang dibawa si anak kepada para dewa. Ada kepercayaan bahwa anak-anak gembel ini ditunggui jin dan pemotongan rambut tersebut akan mengusir jin keluar dari tubuhnya sehingga segala bala akan hilang dan rezeki pun datang.
Fenomena anak gembel ini juga mempunyai versi lain dalam perkembangannya. Anak gembel dikaitkan dengan mitos Kyai Kolodete. Sosok ini dalam benak masyarakat Dataran Tinggi Dieng cukup lekat. Konon kyai yang muksa (lepas nyawa dari raga ) di Gunung Bima ini, merupakan sosok yang jadi cikal bakal meneteskan keturunan anak berambut gembel (gimbal) hingga hari ini. Kehadiran Kyai Kolodete di Dataran Tinggi Dieng selama ini diyakini menjadi tokoh yang terlibat dalam membabat kawasan Dieng. Kolodete dimitoskan menjadi sosok yang misterius sekaligus fakta. Dikatakan misterius karena berada di Dieng pada ratusan tahun silam dengan penanda kepergiannya melalui petilasan muksa di Puncak Gunung Bima. Dianggap fakta karena hingga hari ini, titisan kolodete masih terus ada, wujudnya anak di kawasan Dieng berambut gimbal yang harus diperlakukan secara khusus, apabila tidak, bisa berdampak jadi bala.
Sosok Kolodete dan titisannya yang masih terus terlahir tersebut pada digambarkan secara eksotis melalui gerakan tari bertajuk titisan kolodete di helat di Pelataran Candi Arjuna dalam rangkaian acara Dieng Kultural festival. Para penari melalui segmen demi segmen membawakan rangkaian kisah, dari sosok kyai kolodete hingga melahirkan titisannya ditandai dengan banyaknya anak berambut gimbal di kawasan Dieng yang hingga kini masih terus terlahir. Sendratari ini, mengisahkan tiga tokoh pendiri Wonosobo yang salah satu diantaranya telah berurat berakar dalam tradisi kehidupan masyarakat Dieng yaitu kyai kolodete. Sosok Kolodete dikenal berambut gembel sejak kecil dan dipercayai sebagai leluhur peletak dasar tradisi ruwat rambut gembel.
Orang Jawa, khususnya yang tinggal di pedesaan, percaya terhadap dunia selain dunia nyata ini. Menurut kepercayaan mereka, dunia ini dihuni oleh berbagai macam makhluk halus dan kekuasaan-kekuasaan gaib. Pandangan hidup mereka, kejadian-kejadian di dunia nyata ini berkaitan dengan alam gaib (adikodrati) tersebut. Pengejawantahan dari pandangan tersebut memunculkan mitos-mitos mengenai dunia nyata dan dunia adikodrati. Yang pada akhirnya semakin menguatkan kepercayaan bahwa terdapat dua dunia dalam kehidupan ini, yaitu dunia empirik dan metaempirik. Mitos-mitos, seperti halnya mitos anak gembel di dataran tinggi Dieng, menjelaskan bagaimana hubungan antara dua alam tersebut. Dan ritus-ritus yang berkaitan dengan mitos tersebut menjadi jembatan yang menghubungi dua dunia tersebut.
Jika kita berfikir menggunakan logika atau akal sehat sepertinya kejadian dalam mitos jauh dari nalar bahkan tidak mungkin. Pertimbanganya antara sebab akibat dan pertimbangan kenalaran. Pada intinya mitos dalam masyarakat Indonesia menjadi bumbu budaya pasalnya setiap daerah memiliki ciri dan keunikan tersendiri. Antara mitos dan logika diibaratkan seperti minyak dengan air keduanya tak dapat disatukan / berdiri sendiri. Yang terpenting adalah perbedaan sudut pandang suatu pemikiran menjadi kekayaan dan kebebasan setiap insan.
 
Secara alamiah logika tak dapat menembus mitos dan mitos bukan bagaian dari logika, tapi anehnya keduanya berjalan beriringan, seperti contoh : "Mitos yang terjadi di dataran tinggi Dieng, Wonosobo menjadi daya tarik wisatawan". Jika dicermati / dianalisis dengan logika, memang benar Dieng menjadi menarik karena ada mitos, karenanya banyak wisatawan yang berkunjung, tapi tak semua wisatawan percaya dengan mitos yang terjadi.
Terlepas dari dua versi mitos mengenai asal muasal rambut gembel yang muncul di masayarakat. Mitos ini telah menjadi landasan berpikir dan pola tingkah laku orang Jawa. Mitos ini tumbuh subur di kalangan masyarakat dan terus terpelihara hingga sekarang. Kita sebagai orang awam tidak dapat membenarkan mitos mana diantara kedua mitos tersebut yang benar-benar ada dan terjadi pada masa dahulu. Namun lewat mitos –mitos ini kita dapat belajar dan mengambil hikmahnya. Disamping itu mitos-mitos ini menjadi inspirasi para seniman untuk menciptakan suatu karya seni, contohnya melalui tarian asli daerah yang bisa mewakili sejarah. Tarian ini diharapkan bisa memberikan materi pengetahuan tentang seni tari dan gending untuk ditularkan ke masyarakat seni budaya lain dan untuk mendapatkan arti seni budaya lokal yang sebenarnya.




Daftar Pustaka :
-         Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta : Kepel press
-         Herawati E.N.2001.Topeng Lengger dalam upacara  ruwatan rambut gembel di Wonosobo,Jateng. Tesis tidak diterbitkan.Yogyakarta : Program studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Humaniora UGM
-         Larasati Ani.2012. Patrawidya : Pola pengasuhan anak anak berambut Gembel. Yogyakarta Balai penelitian sejarah dan budaya
-         Kondisi wilayah Dieng dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dieng diunduh tanggal 16 Oktober 2012 pukul 10:23

Selasa, 09 Oktober 2012

Antropologi suatu ilmu...

x : Kamu ngambil jurusan apa?
y : antropologi (dengan bangga)
x : Oh,ilmu tentang bintang ya?
y : AAAgubraak,bukan,antropologi itu....


Ilmu Antropologi mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Anthropologi budaya merupakan kajian budaya, dan berasaskan ethnografi. Ethnografi merujuk kepada methodologi dan hasil kajian. Epistemologi  dalam antropologi membahas mengenai metode yang digunakan dalam antropologi untuk mendapatkan pengetahuan atau hasil kajian.

Teori – teori yang dipelajari antara lain teori antropologi klasik dan teori antropologi modern. Teori antropologi klasik bersifat lama, kuno tetapi berkualitas ,sehingga teori yang muncul masih berlaku. Antropologi klasik mempelajari tentang evolusi kebudayaan, difusi kebudayaan dan partikularisme historis.
Kemudian muncullah teori antropologi modern. Kemunculan teori antropologi modern dikatakan berawal dari tokoh yang bernama Maliownski. Beliau menggunakan metode “participation observation” yaitu dengan cara hidup bersama masyarakat yang diteliti selama satu setengah tahun. Dari penelitian lapangan dan pustaka muncul paradigma evolusi kebudayaan, difusi kebudayaan, study perbandingan dan partikularisme historis.
Sudah ngerti kan pembaca sekilas tentang cabang ilmu ini :)

~shasha 9/10/12